Setelah tuntas kewajiban berpuasa sebulan
penuh di bulan Ramadhan, kita akan menyambut Hari Raya Idul Fitri yang sering
disebut lebaran oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Sebagaimana janji Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan harapan pengampunan
Allah, maka akan diampuni segala dosa yang telah lalu. Maka kita dapat menarik
kesimpulan bahwa pasca Ramadhan, kita seakan terlahir kembali tanpa dosa. Itulah
kenapa Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai “kembali suci” karena bersih
dari segala dosa.
Namun sejatinya, frasa Idul Fitri berasal
dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu Ied yang berarti hari
raya dan fitri yang memiliki makna sama dengan Iftar atau berbuka;
madang-madang. Pemaknaan ini selaras dengan Idul Adha yang kita maknai sebagai
hari raya sembelihan, bukan kembali menyembelih atau kembali menjadi
sembelihan.
Maka dari itu, segala instrumen yang
berkaitan dengan Idul Fitri mengarah pada makna Iftar atau madang-madang, mulai
dari zakat fitrah yang harus berupa makanan pokok untuk diberikan kepada
delapan golongan yang ditetapkan, agar mereka bisa merasakan madang-madang di
hari raya, hingga keharaman berpuasa di tanggal satu syawal sebagai legitimasi
bahwa hari itu memang harinya madang-madang.
Tak heran di masyarakat Jawa muncul adat
dan kebiasaan yang sangat istimewa, saling memberi sebelum hari raya tiba, dan
kebiasaan membuat lontong/ketupat saat lebaran, yang semuanya mengarah menuju
ritual madang-madang.
Bahkan, beberapa sesepuh sering
mengatakan, sebelum sholat Idul Fitri sunnah makan lontong. Maka pertanyaannya
sederhana, apakah di zaman Nabi sudah ada lontong? Iya benar sekali, pastinya
belum. Jadi yang sebenarnya disunnahkan adalah makan, makan apapun itu sebelum
pergi sholat ied, sebagai pembeda dengan bulan Ramadhan yang ketika
datang subuh tidak boleh makan dan minum. Lagi dan lagi sunnah ini membuktikan
bahwa acara inti dari Idul Fitri adalah madang-madang.
Lalu bagaimana dengan silaturahim dan
saling memaafkan? Apakah itu bukan bagian dari makna Idul Fitri, yang sering
diasosiasikan dengan ucapan “minal 'aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan
batin”. Menarik untuk kita kulik dan bahas.
Tradisi silaturahim dan saling memaafkan
ini hanya dapat ditemui di Indonesia/nusantara, tidak ditemui di negara islam
lain bahkan di Timur Tengah. Ini adalah bukti bahwa ulama nusantara memiliki
pemahaman agama yang sangat mendalam dan pemikiran yang cemerlang.
Ketika di awal disebutkan hadits Nabi
tentang pengampunan dosa setelah Ramadhan, pastinya dosa yang diampuni secara
otomatis adalah dosa vertikal kepada Allah Subhanahu Wata'ala, tidak dengan
horizontal atau dosa dengan sesama manusia yang mana memang memerlukan
keikhlasan dari yang bersangkutan.
Kemudian para ulama berpikir bagaimana
agar dosa horizontal ini juga dapat diampuni. Maka muncullah tradisi saling
memaafkan di Hari Raya Idul Fitri dibarengkan dengan momen madang-madang yang
merupakan inti dari hari raya ini. Wal hasil, dengan kesaktian ritual madang
dan kebersamaan yang digabungkan dengan silaturahim, kita menjadi tidak sungkan
untuk meminta maaf dan tidak segan untuk memaafkan.
Selamat berhari raya Idul Fitri, selamat
berhari raya madang-madang. Jangan lupa pesan Allah : makanlah minumlah, dan
jangan berlebihan karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.
Kontributor
: M Tajul Mafachir Muhtarom
Editor : Wiwid Fitriyani
Design : M. Helmi Kurniawan
Komentar
Posting Komentar